|
Prasasti Watupinawetengan |
Sulut, SahabatTewasen, -
Menurut
cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua , Pakasa’an dalam cerita
tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa)
dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure
artinya orang lama.
Teori pembentukan masyarakat pendukung zaman batu besar atau “megalit” tulisan
Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986.
Jaman
Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh zaman batu besar
adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan.
Jaman
batu baru atau zaman Neolit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama
sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan
batu kubur Waruga.
Pada
waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan
yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan
opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan dan Mamarimbing. Pemimpin tertinggi
mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Watu
Pinawetengan pada abad ke – 7.
Pakasa’an
Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar
satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa
asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.
Belum dapat
ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an
Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni
Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.
Kondisi
Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana
Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu
dan Toundanou.
Pakasa’an
Tondano terdiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu
terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta
Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Adapun
empat buah perahu yang menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon dua di antaranya
berlabuh di Kema, kemudian mendirikan pemukiman di Minawerot, Kumelembuay dan
Kalawat (Klabat). Satu buah perahu berlabuh di Atep.
Mereka
menuju ke sebelah barat dan menjumpai sebuah danau besar yang berada di tengah
dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim di situ lalu mendirikan pemukiman
Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan Kakas.
Namun
beberapa di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah selatan hingga tiba di
Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke sebelah barat lalu mendirikan
pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah perahu berlabuh di Pogidon kemudian
mendirikan pemukiman Singkil dan Malalayang di sekitar Gunung Bantik.
Ketika
penduduk di sekitar Danau Bulilin terus bertambah banyak, para Tonaas, Walian
dan Potuusan berinisiatif mengadakan musyawarah untuk membicarakan tentang
(Tumani) penyebaran penduduk ke berbagai penjuru di tanah Malesung.
Tumani
inilah yang dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai pemancaran pertama
orang Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan orang-orang lain
yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi perkawinan campur
sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka terciptalah wanua
(negeri).
Sebagaimana
ketentuan adat, golongan Pasiowan Telu diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan
untuk kepentingan umum dan pinontol (bekerja kepada para pemimpin), seperti
menanam dan menuai.
Selain
itu diwajibkan membagi hasil pertanian, peternakan maupun perburuan mereka
kepada golongan Makarua Makasiow dan golongan Makatelu Pitu serta melakukan
ketentuan-ketentuan adat misalnya mempersiapkan kurban persembahan setiap
dilangsungkan ritual poso negeri dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran
(Drs. R. E. H. Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).
Sekitar
abad ke-5 terjadi pemberontakan dan peperangan dari golongan Pasiowan Telu
karena tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai lahan pertanian yang
sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik golongan Makarua Siow dan
Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar sistem pengangkatan
pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan Makarua Siow dan golongan
Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh anggota masyarakat, tidak
dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan adat.
Melihat
peperangan antar Walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, tahun 670,
beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam
usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di
sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa”
tempat pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862).
Kendati
berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang
berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua
Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai
beberapa kesepakatan penting, di antaranya: - Menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak - Setiap
kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap
berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung)
dan opo (leluhur). - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa
sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu
Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.
Nah,,,Taranak
yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan
Piay inilah yang pergi ke arah barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan,
Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.
(Ada beberapa
Cerita Soal Asal Muasal Desa Tewasen, dan kali ini saya akan mengulas asal
Muasal Desa Tewasen dari Versi Minahasa Tenggara, dan kumpulan cerita ini
diambil dari beberapa Sumber.walaupun saya hanya Setengah berdarah Tewasen tapi
Kecintaan terhadap Kampung Ibu Saya Antje Rempowatu anak dari Alm.Oscar “Abeng”
Rempowatu tak pernah setengah-setengah).