Sejarah Kampoeng

Peristiwa

Pengucapan

Kegiatan Kampoeng

Tampilkan postingan dengan label sejarah kampoeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah kampoeng. Tampilkan semua postingan

Tahun Penetapan Wilayah Desa Tewasen Tempoe Doeloe

Posted on Minggu, 15 Juni 2014 with Tidak ada komentar
Foto : Amurang, dipotert
pada tahun 1924
Pada tahun 670 Penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur).  

Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.


Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai berikut (Termasuk Desa Tewasen) :

1. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belung, dan Walian Kakamang menuju sekitar Gunung Lokon dan bermukim di Mayesu, dekat Kinilow dan Muung. Mereka disebut Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka dinamakan Tombulu.

2. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Walalangi dan Walian Rogi menuju ke Niaranan dan Kembuan (Tonsea Lama). Sebagian lagi mendirikan pemukiman di sekitar Gunung Kalawat (Klabat). Mereka disebut “Tou Un Sea” (Tonsea)

3. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan Piay, pergi ke arah barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.

4. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit, menuju ke Kakas, Atep dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.

5. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Sebagian lagi mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka disebut Ratahan. Yang menuju ke Towuntu (Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di antara tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak). Mereka disebut tou Ponosakan.

6. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur.Mereka disebut Toundanouw (Tondano), artinya orang yang tinggal di sekitar air. Kemudian bangsa Belanda menamakan mereka Tonsawang, artinya orang yang suka menolong.


7. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju ke arah barat hingga tiba di sekitar Gunung Bantik dan mendirikan pemukiman Malalayang. Beberapa di antara mereka pergi bermukim di Pogidon dan Singkil. Karena bermukim di sekitar Gunung Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.

(Dikumpulkan dari beberapa Sumber yang dapat dipertanggung Jawabkan,)
READ MORE

Sejarah Desa Tewasen

Posted on Sabtu, 14 Juni 2014 with Tidak ada komentar

Prasasti Watupinawetengan
Sulut, SahabatTewasen, -

Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua , Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama.

Teori pembentukan masyarakat pendukung zaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. 

Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh zaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan.

Jaman batu baru atau zaman Neolit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga.

Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan dan Mamarimbing. Pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Watu Pinawetengan pada abad ke – 7.

Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.

Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.

Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw  dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou.

Pakasa’an Tondano terdiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Adapun empat buah perahu yang menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon dua di antaranya berlabuh di Kema, kemudian mendirikan pemukiman di Minawerot, Kumelembuay dan Kalawat (Klabat). Satu buah perahu berlabuh di Atep.

Mereka menuju ke sebelah barat dan menjumpai sebuah danau besar yang berada di tengah dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim di situ lalu mendirikan pemukiman Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan Kakas.

Namun beberapa di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah selatan hingga tiba di Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke sebelah barat lalu mendirikan pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah perahu berlabuh di Pogidon kemudian mendirikan pemukiman Singkil dan Malalayang di sekitar Gunung Bantik.

Ketika penduduk di sekitar Danau Bulilin terus bertambah banyak, para Tonaas, Walian dan Potuusan berinisiatif mengadakan musyawarah untuk membicarakan tentang (Tumani) penyebaran penduduk ke berbagai penjuru di tanah Malesung.

Tumani inilah yang dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai pemancaran pertama orang Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan orang-orang lain yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi perkawinan campur sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka terciptalah wanua (negeri).

Sebagaimana ketentuan adat, golongan Pasiowan Telu diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum dan pinontol (bekerja kepada para pemimpin), seperti menanam dan menuai.

Selain itu diwajibkan membagi hasil pertanian, peternakan maupun perburuan mereka kepada golongan Makarua Makasiow dan golongan Makatelu Pitu serta melakukan ketentuan-ketentuan adat misalnya mempersiapkan kurban persembahan setiap dilangsungkan ritual poso negeri dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran (Drs. R. E. H. Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).

Sekitar abad ke-5 terjadi pemberontakan dan peperangan dari golongan Pasiowan Telu karena tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai lahan pertanian yang sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik golongan Makarua Siow dan Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar sistem pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan Makarua Siow dan golongan Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh anggota masyarakat, tidak dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan adat.

Melihat peperangan antar Walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862).

Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya: - Menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur). - Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.

Nah,,,Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan Piay inilah yang pergi ke arah barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.


(Ada beberapa Cerita Soal Asal Muasal Desa Tewasen, dan kali ini saya akan mengulas asal Muasal Desa Tewasen dari Versi Minahasa Tenggara, dan kumpulan cerita ini diambil dari beberapa Sumber.walaupun saya hanya Setengah berdarah Tewasen tapi Kecintaan terhadap Kampung Ibu Saya Antje Rempowatu anak dari Alm.Oscar “Abeng” Rempowatu tak pernah setengah-setengah).
READ MORE

Brigade Manguni dan GP Ansor Serukan Jaga Stabilitas Sulut di Pilpres

Posted on Jumat, 13 Juni 2014 with 1 komentar
Farry Malonda, Dewan Tonaas BM
Manado, SahabatTewasen,-

Nuansa politik yang kian memanas di pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Capres – Cawapres) di perhelatan demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, membuat Organisasi Masyarakat harap-harap cemas terjadi perpecahan, Brigade Manguni (BM) dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sulut putuskan angkat bicara.

Tonaas Farry Malonda, Dewan Pimpinan Tonaas BM Sulut menginstruksikan kepada ribuan anggotanya untuk menahan diri dan ikut berpartisipasi dengan pihak keamanan menjaga stabilitas daerah.

“Semua anak bangsa wajib menjaga stabiltas tak terkecuali putra Sulut. Di Pilpres ini kita berdemokrasi biarkan hak asasi berpolitik setiap insane untuk menentukan pilihan jangan ada pemaksaan, jangan sampai terpancing dengan kampanye hitam. Jika ada yang mau memprovokasi daerah, BM siap membantu aparat,” tegas Malonda yang juga Korwil BMI Kalimantan.

Malonda yang juga Koordinator Wilayah (Korwil) Brigade Manguni Indonesia Kalimantan Timur menginstruksikan wajib hukumnya dilakukan oleh ribuan anggotanya, namun dalam menjalankan tugas, ia tidak menyarankan ada tindakan anarkis.

“Jangan bertindak dengan kekerasan, anggota saya tidak pernah punya sifat ini, bantu aparat, jika ditemukan ada orang yang sengaja memprovokasi segera bertindak dengan mengamankan dan segera dibawah kepada pihak berwajib,” tutup Malonda sembari mengharapkan adanya rasa cinta terhadap daerah dalam perbedaan.


Benny Rhmdani, Ketua GP Ansor Sulut
Sementara ketua GP Ansor Sulut Benny Rhamdani, menginstruksikan anggotanya siaga terhadap segala kemungkinan yang dapat memecah belah keamanan daerah.

“Demi terselenggaranya Pilpres 2014 yang jujur, adil dan bermartabat, saya memberikan instruksi kepada sejuruh Jajaran pengurus, kader dan anggota Ansor dan Banser di seluruh wilayah Kab/Kota se-Sulawesi Utara. Memantau dan melaporkan siapapun individu atau institusi yang melakukan tindakan intimidasi, teror dan politik uang dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat,” tukas Rhamdani.

Ditegaskannya, tindakan tegas tidak sebatas pencegahan tapi juga penangkapan terhadap oknum yang coba mengganggu stabilitas Sulut dan menyerahkannya ke pihak Bawaslu untuk pelaku dari kalangan masyarakat sipil, ke Propam Polres atau Polda untuk pelaku anggota Polri dan ke Pom/Denpom untuk pelaku anggota TNI.(Noberd Losa)
READ MORE

Latest

Blog Archive